Senin, 13 Januari 2014

KIAT SEDERHANA TANGKAL RADIKAL BEBAS

Dalam dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif.  Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas.
Proses metabolisme tubuh selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif.  Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di dalamnya.  Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida.
Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan tidaklah mungkin terjadi.  Radikal bebas berperan penting pada ketahanan terhadap jasad renik.  Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun.
Namun pembentukan radikal bebas yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan.  Dalam pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai.  Aksi ini dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis).
Tubuh memerlukan bala bantuan untuk mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh.  Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya.
Unsur antioksidan yang terpenting adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu.  Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis.
Belum banyak yang memahami benar seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan sebagai antioksidan.  Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap hari.  Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk kebutuhan setiap hari.  Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan.
Beberapa pakar nutrisi berpendapat, bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara  menjaga pola makan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat melakukannya setiap hari.  Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi berkurang.  Mereka berpendapat dapat digantikan dengan suplemen yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci.
Ada pula yang berpendapat, dalam mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap hari.  Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam.  Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan.
Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu.  Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan tubuh akan terasa pegal.  Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah segar setiap hari dalam porsi yang memadai.

untuk lebih mengetahui tentang radikal bebas, silahkan klik link dibawah ini :
- pola makan 
- stimulasi 
- anti oksidan dan radikal bebas 
- vitamin 
- proses penuaan 
- penyakit degeneratif 
- metabolisme
Gizi Ibu dan Anak

Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Studi menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang.
Intervensi untuk menurunkan anak pendek harus dimulai secara tepat sebelum kelahiran, dengan pelayanan pranatal dan gizi ibu, dan berlanjut hingga usia dua tahun. Proses untuk menjadi seorang anak bertubuh pendek – yang disebut kegagalan pertumbuhan (growth faltering) - dimulai dalam dalam rahim, hingga usia dua tahun. Pada saat anak melewati usia dua tahun, sudah terlambat untuk memperbaiki kerusakan pada tahun-tahun awal. Oleh karena itu, status kesehatan dan gizi ibu merupakan penentu penting tubuh pendek pada anak-anak.

untuk lebih lengkapnya silahkan download disini ..

Selasa, 07 Januari 2014

Diet, Nutrition, and Bone Health

Osteoporosis is defined as a systemic skeletal disease characterized by low bone mass and microarchitectural deterioration of bone tissue, with a consequent increase in bone fragility and susceptibility to fracture. For the purposes of clinical diagnosis, a working party of the World Health Organization has redefined osteoporosis according to bone mass, at least for women. Their diagnostic criteria for osteoporosis, based on bone mineral content (BMC) or bone mineral density (BMD), include: normal, within 1 SD of the young adult reference mean for the population; osteopenia, between −1 and −2.5 SD of the young adult mean; osteoporosis more than −2.5 SD below the young adult mean; and established osteoporosis as the same mass definition but associated with a fragility fracture. Fragility fractures are the hallmark of osteoporosis and are particularly common in the spine, hip, and distal forearm, although they can occur throughout the skeleton.

Read more >> download here


Senin, 06 Januari 2014

PENYULUHAN KESEHATAN GIZI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT PADA MASYARAKAT
 
Sampai sekarang masalah gizi di Indonesia masih menjadi masalah. Terutama berkaitan dengan gizi kurang
dan gizi buruk baik pada balita maupun pada orang dewasa. Pada orang dewasa, gizi kurang dan gizi buruk
terdapat pada wanita hamil dan menyusui serta yang berpenghasilan rendah. Kekurangan gizi ini terkait dengan
kekurangan : a) kalori dan protein, b) kekurangan vitamin, c) gondok endemik, dan d) anemia gizi. (Depkes,
1990)
Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga
tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi (Atmarita, 2004). Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari
penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian
ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup.
Program yang dilaksanakan pemerintah terkait dengan gizi ini, diupayakan untuk terus menurun-kan angka
penyakit gizi kurang yang umumnya banyak diderta oleh masyarakat berpenghasilan rendah, terutama balita dan
wanita. Upaya tersebut mendukung angka kematian bayi dan balita serta kematian ibu. Program pemerintah juga
berupaya untuk berusaha memperbaiki gizi masyarakat pada umumnya melalui pola konsumsi pangan yang
makin beraneka ragam, seimbang dan bermutu gizi. Perbaikan tersebut juga diperlukan oleh kelompok
masyarakat yang mempunyai resiko terhadap beberapa penyakit, misalnya jantung dan pembuluh darah.
Usaha yang digalakan pemerintah yaitu dengan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yaitu untuk
meningkatkan gizi dalam tiap keluarga. UPGK ini kegiatannya meliputi kegiatan sebagai berikut.

untuk selengkapnya silahkan download disini